Tujuan kedatangan orang-orang Eropa ke dunia timur antara lain untuk mendapatkan keuntungan dan kekayaan. Tujuan ini dapat dicapai setelah mereka menemukan rempah-rempah di Kepulauan Nusantara. Berita tentang keuntungan yang melimpah berkat perdagangan rempah-rempah itu menyebar luas. Dengan demikian, semakin banyak orang-orang Eropa yang tertarik pergi ke Nusantara. Mereka saling berinteraksi dan bersaing meraup keuntungan dalam berdagang. Para pedagang atau perusahaan dagang Portugis bersaing dengan para pedagang Belanda, bersaing dengan para pedagang Spanyol, bersaing dengan para pedagang Inggris, dan seterusnya. Bahkan tidak hanya antarbangsa, antarkelompok atau kongsi dagang, dalam satu bangsapun mereka saling bersaing. Oleh karena itu, untuk memperkuat posisinya di dunia timur masing-masing kongsi dagang dari suatu negara membentuk persekutuan dagang bersama. Sebagai contoh seperti pada tahun 1600 Inggris membentuk sebuah kongsi dagang yang diberi nama East India Company (EIC). Kongsi dagang EIC ini kantor pusatnya berkedudukan di Kalkuta, India. Dari Kalkuta ini kekuatan dan setiap kebijakan Inggris di dunia timur, dikendalikan. Pada tahun 1811, kedudukan Inggris begitu kuat dan meluas bahkan pernah berhasil menempatkan kekuasaannya di Nusantara.
Persaingan yang cukup keras juga terjadi antarperusahaan dagang orang-orang Belanda. Masing-masing ingin memenangkan kelompoknya agar mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Kenyataan ini mendapat perhatian khusus dari pihak pemerintah dan parlemen Belanda, sebab persaingan antarkongsi Belanda juga akan merugikan Kerajaan Belanda sendiri. Terkait dengan itu, maka pemerintah dan Parlemen Belanda (Staten Generaal) pada 1598 mengusulkan agar antarkongsi dagang Belanda bekerja sama membentuk sebuah perusahaan dagang yang lebih besar. Usulan ini baru terealisasi empat tahun berikutnya, yakni pada 20 Maret 1602 secara resmi dibentuklah persekutuan kongsi dagang Belanda di Nusantara sebagai hasil fusi antarkongsi yang telah ada. Kongsi dagang Belanda ini diberi nama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau dapat disebut dengan “Perserikatan Maskapai Perdagangan Hindia Timur/Kongsi Dagang India Timur”. VOC secara resmi didirikan di Amsterdam. Adapun tujuan dibentuknya VOC ini antara lain untuk: (1) menghindari persaingan yang tidak sehat antara sesama kelompok/kongsi pedagang Belanda yang telah ada, (2) memperkuat kedudukan para pedagang Belanda dalam menghadapi persaingan dengan para pedagang negara lain, (3) sebagai kekuatan revolusi (dalam perang 80 tahun), sehingga VOC memiliki tentara.
VOC dipimpin oleh sebuah dewan yang beranggotakan 17 orang direktur, sehingga disebut “Dewan Tujuh Belas” yang juga disebut dengan Heeren XVII. Heeren XVII ini maksudnya para tuan, misalnya Lord, Duke, Count, dari 17 provinsi yang ada di Belanda sebagai pemilik saham VOC. Mereka terdiri atas delapan perwakilan kota pelabuhan dagang di Belanda. Markas Besar Dewan ini berkedudukan di Amsterdam. Dalam menjalankan tugas, VOC ini memiliki beberapa kewenangan dan hak-hak antara lain:
Keserakahan dan Kekejaman VOC
Pada tahun 1614 Pieter Both digantikan oleh Gubernur Jenderal Gerard Reynst (1614-1615). Baru berjalan satu tahun ia digantikan gubernur jenderal yang baru yakni Laurens Reael (1615-1619). Pada masa jabatan Laurens Reael ini berhasil dibangun Gedung Mauritius yang berlokasi di tepi Sungai Ciliwung.
Orang-orang Belanda yang tergabung dalam VOC itu memang cerdik. Pada awalnya mereka bersikap baik dengan rakyat. Hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara juga berjalan lancar. Bahkan, sewaktu orang-orang Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Pieter Both diizinkan oleh Pangeran Wijayakrama untuk membangun tempat tinggal dan loji di Jayakarta. Sikap baik rakyat dan para penguasa setempat ini dimanfaatkan oleh VOC untuk semakin memperkuat kedudukannya di Nusantara. Lama kelamaan orang-orang Belanda mulai menampakkan sikap congkak, dan sombong.
Setelah merasakan nikmatnya tinggal di Nusantara/Indonesia dan menikmati keuntungan yang melimpah dalam berdagang, Belanda semakin bernafsu ingin menguasai Indonesia. Untuk memenuhi nafsu serakahnya itu, VOC sering melakukan tindakan pemaksaan dan kekerasan terhadap kaum pribumi. Hal ini telah menimbulkan kebencian rakyat dan para penguasa lokal. Rakyat dan para penguasa lokal tidak mau diperlakukan semena-mena oleh VOC. Oleh karena itu, tidak jarang menimbulkan perlawanan dari rakyat dan penguasa lokal. Sebagai contoh pada tahun 1618 Sultan Banten yang dibantu tentara Inggris di bawah Laksamana Thomas Dale berhasil mengusir VOC dari Jayakarta. Orang-orang VOC kemudian menyingkir ke Maluku. Setelah VOC hengkang dari Jayakarta, pasukan Banten pada awal tahun 1619 juga mengusir Inggris dari Jayakarta. Dengan demikian, Jayakarta sepenuhnya dapat dikendalikan oleh Kesultanan Banten.
Pada tahun 1619 Gubernur Jenderal VOC Laurens Reael digantikan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen (J.P. Coen). J.P. Coen dikenal gubernur jenderal yang berani dan kejam serta ambisius. Oleh karena itu, merasa bangsanya dipermalukan pasukan Banten dan Inggris di Jayakarta, maka J.P. Coen mempersiapkan pasukan untuk menyerang Jayakarta. Armada angkatan laut dengan 18 kapal perangnya mengepung Jayakarta. Jayakarta akhirnya dapat diduduki VOC. Kota Jayakarta kemudian dibumihanguskan oleh J.P. Coen pada tanggal 30 Mei 1619. Di atas puing-puing kota Jayakarta itulah dibangun kota baru bergaya kota dan bangunan di Belanda. Kota baru itu dinamakan Batavia sebagai pengganti nama Jayakarta.
J.P. Coen adalah gubernur jenderal yang ambisius untuk menguasai berbagai wilayah di Indonesia. Ia juga dapat dikatakan sebagai peletak dasar penjajahan VOC di Indonesia. Disertai dengan sikap congkak dan tindakan yang kejam, J.P. Coen berusaha meningkatkan eksploitasi kekayaan bumi Nusantara untuk keuntungan pribadi dan negerinya. Cara-cara VOC untuk meningkatkan eksploitasi kekayaan alam dilakukan antara lain dengan:
Cara-cara seperti monopoli, intervensi dan politik adu domba itu kemudian menjadi kebiasaan VOC dan pemerintah kolonial Belanda dalam melestarikan penjajahannya di Indonesia. Setelah berhasil membangun Batavia dan meletakkan dasar-dasar penjajahan di Nusantara, pada tahun 1623 J.P. Coen kembali ke negeri Belanda. Ia menyerahkan kekuasaannya kepada Pieter de Carpentier. Tetapi oleh pimpinan VOC di Belanda, J.P. Coen diminta kembali ke Batavia. Akhirnya pada tahun 1627 J.P. Coen tiba di Batavia dan diangkat kembali sebagai Gubernur Jenderal untuk jabatan yang kedua kalinya. J.P. Coen semakin congkak dan kejam dalam menjalankan kekuasaannya di Nusantara. Berbagai bentuk tindakan kekerasan, tipu muslihat dan politik devide et impera terus dilakukan. Rakyat pun semakin menderita. Pada masa jabatan yang kedua J.P. Coen ini pula terjadi serangan tentara Mataram di bawah Sultan Agung ke Batavia.
Batavia senantiasa memiliki posisi yang strategis. Batavia dijadikan markas besar VOC. Semua kebijakan dan tindakan VOC di kawasan Asia dikendalikan dari markas besar VOC di Batavia. Selain itu Batavia juga terletak pada persimpangan atau menjadi penghubung jalur perdagangan internasional. Batavia menjadi pusat perdagangan dan jalur yang menghubungkan perdagangan di Nusantara bagian barat dengan Malaka, India, kemudian juga menghubungkan dengan Nusantara bagian timur. Apalagi Nusantara bagian timur ini menjadi daerah penghasil rempah-rempah yang utama, maka posisi Batavia yang berada di tengah-tengah itu menjadi semakin strategis dalam perdagangan rempah-rempah.
VOC semakin bernafsu dan menunjukkan keserakahannya untuk menguasai wilayah Nusantara yang kaya rempah-rempah ini. Tindakan intervensi politik terhadap kerajaan-kerajaan di Nusantara dan pemaksaan monopoli perdagangan terus dilakukan. Politik devide et impera dan berbagai tipu daya juga dilaksanakan demi mendapatkan kekuasaan dan keuntungan sebesar-besarnya. Sebagai contoh, Mataram Islam yang merupakan kerajaan kuat di Jawa akhirnya juga dapat dikendalikan secara penuh oleh VOC. Hal ini terjadi setelah dengan tipu muslihat VOC, Raja Pakubuwana II yang sedang dalam keadaan sakit keras dipaksa untuk menandatangani naskah penyerahan kekuasaan Kerajaan Mataram Islam kepada VOC pada tahun 1749. Tidak hanya kerajaan-kerajaan di Jawa, kerajaan-kerajaan di luar Jawa berusaha ditaklukkan.
Untuk memperkokoh kedudukannya di Indonesia bagian barat dan memperluas pengaruhnya di Sumatera, VOC berhasil menguasai Malaka. Hal ini terjadi setelah VOC mengalahkan saingannya, yakni Portugis pada tahun 1641. Berikutnya VOC berusaha meluaskan pengaruhnya ke Aceh. Kerajaan Makassar di bawah Sultan Hasanuddin yang tersohor di Indonesia bagian timur juga berhasil dikalahkan setelah terjadi Perjanjian Bongaya tahun 1667. Dari Makasar VOC juga berhasil memaksakan kontrak dan monopoli perdagangan dengan Raja Sulaiman dari Kalimantan Selatan. Pelaksanaan monopoli di kawasan ini dilaksanakan melalui Pelayaran Hongi.
Pelayaran Hongi adalah suatu bentuk pelayaran serta pengawasan yang dilakukan oleh pemerintahan zaman VOC Belanda yang bertujuan menjaga keberlangsungan monopoli rempah-rempah termasuk Hak Ekstirpasi yaitu hak memusnahkan pohon Pala atau Cengkeh, demi mengekalkan monopoli Rempah-Rempah di Kepulauan Maluku dan sekitarnya.
Pengaruh dan kekuasaan VOC semakin meluas. Untuk mempertahankan kebijakan monopoli di setiap daerah yang dipandang strategis, maka armada VOC diperkuat. Benteng-benteng pertahanan dibangun. Sebagai contoh Benteng Doorstede dibangun di Saparua, Benteng Nasau di Banda, di Ambon sudah ada Benteng Nieuw Victoria, Benteng Oranye di Ternate, dan Benteng Rotterdam di Makasar.
VOC juga memperluas pengaruhnya sampai ke Irian/Papua yang dikenal sebagai wilayah yang masih tertutup dengan hutan belantara yang begitu luas. Penduduknya juga masih bersahaja dan primitif. Orang Belanda yang pertama kali sampai ke Irian adalah Willem Janz. Bersama armadanya rombongan Willem Janz menaiki Kapal Duyke dan berhasil memasuki tanah Papua pada tahun 1606. Willem Janz ingin mencari kebun tanaman rempah-rempah. Tahun 1616-1617 Le Maire dan William Schouten mengadakan survei di daerah pantai timur laut Irian dan menemukan Kepulauan Admiralty bahkan sampai ke New Ireland. Pada waktu itu orang-orang Belanda sangat memerlukan bantuan budak, maka banyak diambil dari orang-orang Irian. Pengaruh VOC di Irian semakin kuat. Bahkan pada tahun 1667, Pulau-pulau yang termasuk wilayah Irian yang semula berada di bawah kekuasaan Kerajaan Tidore sudah berpindah tangan menjadi daerah kekuasaan VOC. Dengan demikian, daerah pengaruh dan kekuasaan VOC sudah meluas di seluruh Nusantara. Penguasaan atas Papua/Irian oleh VOC ini terutama terjadi setelah melihat Inggris mulai menanamkan pengaruhnya di beberapa tempat di Indonesia, seperti penguasaan atas Bengkulu.
Memahami uraian di atas, jelas bahwa VOC yang merupakan kongsi dagang itu berangkat dari usaha mencari untung kemudian dapat menanamkan pengaruh serta kekuasaannya di Nusantara. Fenomena ini juga terjadi pada kongsi dagang milik bangsa Eropa yang lain. Artinya, untuk memperkokoh tindakan monopoli dan memperbesar keuntungannya orang-orang Eropa itu harus memperbanyak daerah yang dikuasai (daerah koloninya). Tidak hanya daerah yang dikuasai secara ekonomi, kongsi dagang itu juga ingin mengendalikan secara politik atau memerintah daerah tersebut. Bercokollah kemudian kekuatan kolonialisme dan imperialisme.
Dalam praktiknya, antara kolonialisme dan imperialisme sulit untuk dipisahkan. Kolonialisme merupakan bentuk pengekalan imperialisme (Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012). Muara kedua paham itu adalah penjajahan dari negara yang satu terhadap daerah atau bangsa yang lain. Sistem inilah yang umumnya diterapkan bangsa-bangsa Eropa yang datang di Kepulauan Nusantara, baik Portugis, Spanyol, Inggris maupun Belanda. Sistem ekonomi dan praktik penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Eropa itu tidak dilepaskan dari sistem ekonomi yang berkembang di Eropa yakni sistem ekonomi merkantilisme, sejak abad ke-16. Merkantilisme merupakan sistem ekonomi yang menekan peraturan dan praktik ekonomi pemerintahan suatu negara dengan tujuan memperluas kekuasaan dengan mengorbankan kekuatan nasional negara saingannya. Merkantilisme ini diarahkan untuk menambah cadangan moneter dengan melakukan ekspansi ke negara lain. Paham inilah yang mendorong terjadinya kolonialisme. Oleh karena itu, ciri yang menonjol dalam sistem ekonomi merkantilisme yakni menciptakan koloni di luar negaranya sendiri dan melakukan monopoli perdagangan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke dunia Timur telah melahirkan koloni-koloni di berbagai wilayah.
Semua itu dalam rangka mencapai kejayaan bangsanya atas masyarakat atau bangsa yang lain. Pihak atau bangsa lain dipandang sebagai musuh dan harus disingkirkan. Sifat keangkuhan dan keserakahan ini telah menghiasi perilaku kaum penjajah. Inilah sifat-sifat yang sangat dibenci dan tidak diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Demikian halnya dengan VOC, tidak sekedar menjadi sebuah kongsi dagang yang berusaha untuk mencari untung saja, tetapi juga ingin menanamkan kekuasaannya di Nusantara. VOC dengan hak-hak dan kewenangan yang diberikan pemerintah dan parlemen Belanda telah melakukan penjajahan dan penguatan akar kolonialisme dan imperialisme. VOC telah melakukan praktik penjajahan di Nusantara. Melalui cara-cara pemaksaan monopoli perdagangan, politik memecah belah serta tipu muslihat yang sering disertai tindak peperangan dan kekerasan, semakin memperluas daerah kekuasaan dan memperkokoh “kemaharajaan” VOC. Sekali lagi tindak keserakahan dan kekerasan yang dilakukan oleh VOC itu menunjukkan mereka tidak mau bersyukur atas karunia yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, wajar kalau timbul perlawanan dari berbagai daerah di Nusantara, misalnya dari Aceh, Banten, Demak, Mataram, Banjar, Makassar, dan Maluku.
VOC Gulung Tikar
Pada abad ke-17 hingga awal abad ke-18, VOC mengalami puncak kejayaan. Penguasa dan kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara umumnya berhasil dikuasai. Kerajaan-kerajaan itu sudah menjadi bawahan dan pelayan kepentingan VOC. Jalur perdagangan yang dikendalikan VOC menyebar luas membentang dari Amsterdam, Tanjung Harapan, India sampai Irian/Papua. Keuntungan perdagangan rempah-rempah juga melimpah.
Namun di balik itu ada persoalan-persoalan yang bermunculan. Semakin banyak daerah yang dikuasai ternyata juga membuat masalah pengelolaan semakin kompleks. Semakin luas daerahnya, pengawasan juga semakin sulit. Kota Batavia semakin ramai dan semakin padat. Orang-orang timur asing seperti Cina dan Jepang diizinkan tinggal di Batavia. Sebagai pusat pemerintahan VOC, Batavia juga semakin dibanjiri penduduk, dari luar Batavia sehingga tidak jarang menimbulkan masalah-masalah sosial.
Pada tahun 1749 terjadi perubahan yang mendasar dalam lembaga kepengurusan VOC. Pada tanggal 27 Maret 1749, Parlemen Belanda mengeluarkan UU yang menetapkan bahwa Raja Willem IV sebagai penguasa tertinggi VOC. Dengan demikian, anggota pengurus “Dewan Tujuh Belas” yang semula dipilih oleh parlemen dan provinsi pemegang saham (kecuali Provinsi Holland), kemudian sepenuhnya menjadi tanggung jawab Raja. Raja juga menjadi panglima tertinggi tentara VOC. Dengan demikian, VOC berada di bawah kekuasaan raja. Pengurus VOC mulai akrab dengan pemerintah Belanda. Kepentingan pemegang saham menjadi terabaikan. Pengurus tidak lagi berpikir memajukan usaha perdagangannya, tetapi berpikir untuk memperkaya diri. VOC sebagai kongsi dagang swasta keuntungannya semakin merosot. Bahkan tercatat pada tahun 1673 VOC tidak mampu membayar dividen. Kas VOC juga merosot tajam karena serangkaian perang yang telah dilakukan VOC dan beban hutang pun tidak terelakkan.
Sementara itu para pejabat VOC juga mulai menunjukkan sikap dan perilaku gila hormat yang cenderung feodalis. Pada tanggal 24 Juni 1719 Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon mengeluarkan ordonansi untuk mengatur secara rinci cara penghormatan terhadap gubernur jenderal, kepada Dewan Hindia beserta isteri dan anak-anaknya. Misalnya, semua orang harus turun dari kendaraan bila berpapasan dengan para pejabat tinggi tersebut, warga keturunan Eropa harus menundukkan kepala, dan warga bukan orang Eropa harus menyembah. Kemudian Gubernur Jenderal Jacob Mosel juga mengeluarkan ordonansi baru tahun 1754. Ordonansi ini mengatur kendaraan kebesaran. Misalnya kereta ditarik enam ekor kuda, hiasan berwarna emas dan kusir orang Eropa untuk kereta kebesaran gubernur jenderal, sedang untuk anggota dewan hindia, kuda yang menarik kereta hanya empat ekor dan hiasannya warna perak. Nampaknya para pejabat VOC sudah gila hormat dan ingin berfoya-foya. Sudah barang tentu ini juga membebani anggaran.
Posisi jabatan dan berbagai simbol kehormatan tersebut tidaklah lengkap tanpa hadiah dan upeti. Sistem upeti ini ternyata juga terjadi di kalangan para pejabat, dari pejabat di bawahnya kepada pejabat yang lebih tinggi. Hal ini semua terkait dengan mekanisme pergantian jabatan di tubuh organisasi VOC. Semua bermuatan korupsi. Gubernur Jenderal Van Hoorn konon menumpuk harta sampai 10 juta gulden ketika kembali ke Belanda pada tahun 1709, sementara gaji resminya hanya sekitar 700 gulden sebulan. Gubernur Maluku berhasil mengumpulkan kekayaan 20-30 ribu gulden dalam waktu 4-5 tahun, dengan gaji sebesar 150 gulden per bulan. Untuk menjadi karyawan VOC juga harus “menyogok”. Pengurus VOC di Belanda memasang tarif sebesar f 3.500,- bagi yang ingin menjadi pegawai onderkoopman (pada hal gaji resmi per bulan sebagai onderkoopman hanya f.40,- perbulan), untuk menjadi kapitein harus menyogok f.2000,- dan untuk menjadi kopral harus membayar 120 gulden begitu seterusnya yang semua telah merugikan uang lembaga (baca Parakitri Simbolon, 2007) . Demikianlah para pejabat VOC terjangkit penyakit korupsi karena ingin kehormatan dan kemewahan sesaat. Beban utang VOC menjadi semakin berat, sehingga akhirnya VOC sendiri bangkrut dan gulung tikar. Bahkan ada sebuah ungkapan, VOC kepanjangan dari Vergaan Onder Corruptie (tenggelam karena korupsi) (R.Z. Leirissa. “Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC)” dalam Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012).
Dalam kondisi bangkrut VOC tidak dapat berbuat banyak. Menurut penilaian pemerintah keberadaan VOC sebagai kongsi dagang yang menjalankan roda pemerintahan di negeri jajahan tidak dapat dilanjutkan lagi. VOC telah bangkrut. Oleh karena itu, pada tanggal 31 Desember 1799 VOC dinyatakan bubar. Semua utang piutang dan segala milik VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda. Pada waktu itu sebagai Gubernur Jenderal VOC yang terakhir Van Overstraten masih harus bertanggung jawab tentang keadaan di Hindia Belanda. Ia bertugas mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.
Persaingan yang cukup keras juga terjadi antarperusahaan dagang orang-orang Belanda. Masing-masing ingin memenangkan kelompoknya agar mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Kenyataan ini mendapat perhatian khusus dari pihak pemerintah dan parlemen Belanda, sebab persaingan antarkongsi Belanda juga akan merugikan Kerajaan Belanda sendiri. Terkait dengan itu, maka pemerintah dan Parlemen Belanda (Staten Generaal) pada 1598 mengusulkan agar antarkongsi dagang Belanda bekerja sama membentuk sebuah perusahaan dagang yang lebih besar. Usulan ini baru terealisasi empat tahun berikutnya, yakni pada 20 Maret 1602 secara resmi dibentuklah persekutuan kongsi dagang Belanda di Nusantara sebagai hasil fusi antarkongsi yang telah ada. Kongsi dagang Belanda ini diberi nama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau dapat disebut dengan “Perserikatan Maskapai Perdagangan Hindia Timur/Kongsi Dagang India Timur”. VOC secara resmi didirikan di Amsterdam. Adapun tujuan dibentuknya VOC ini antara lain untuk: (1) menghindari persaingan yang tidak sehat antara sesama kelompok/kongsi pedagang Belanda yang telah ada, (2) memperkuat kedudukan para pedagang Belanda dalam menghadapi persaingan dengan para pedagang negara lain, (3) sebagai kekuatan revolusi (dalam perang 80 tahun), sehingga VOC memiliki tentara.
VOC dipimpin oleh sebuah dewan yang beranggotakan 17 orang direktur, sehingga disebut “Dewan Tujuh Belas” yang juga disebut dengan Heeren XVII. Heeren XVII ini maksudnya para tuan, misalnya Lord, Duke, Count, dari 17 provinsi yang ada di Belanda sebagai pemilik saham VOC. Mereka terdiri atas delapan perwakilan kota pelabuhan dagang di Belanda. Markas Besar Dewan ini berkedudukan di Amsterdam. Dalam menjalankan tugas, VOC ini memiliki beberapa kewenangan dan hak-hak antara lain:
- melakukan monopoli perdagangan di wilayah antara Tanjung Harapan sampai dengan Selat Magelhaens, termasuk Kepulauan Nusantara;
- membentuk angkatan perang sendiri;
- melakukan peperangan;
- mengadakan perjanjian dengan raja-raja setempat;
- mencetak dan mengeluarkan mata uang sendiri;
- mengangkat pegawai sendiri; dan
- memerintah di negeri jajahan;
Kewenangan di atas sering disebut dengan hak oktroi. Sebagai sebuah kongsi dagang, dengan kewenangan dan hak-hak di atas, menunjukkan bahwa VOC memiliki hak-hak istimewa dan kewenangan yang sangat luas. VOC sebagai kongsi dagang bagaikan negara dalam negara. Dengan memiliki hak untuk membentuk angkatan perang sendiri dan boleh melakukan peperangan, maka VOC cenderung ekspansif. VOC terus berusaha memperluas daerah-daerah di Nusantara sebagai wilayah kekuasaan dan monopolinya. VOC juga memandang bangsa-bangsa Eropa yang lain sebagai musuhnya. Mengawali ekspansinya tahun 1605 VOC telah berhasil mengusir Portugis dari Ambon. Benteng pertahanan Portugis di Ambon dapat diduduki tentara VOC. Benteng itu kemudian oleh VOC diberi nama Benteng Nieuw Victoria.
Pada awal pertumbuhannya sampai tahun 1610, “Dewan Tujuh Belas” secara langsung harus menjalankan tugas-tugas dan menyelesaikan berbagai urusan VOC, termasuk urusan ekspansi untuk perluasan wilayah monopoli. Dapat kamu bayangkan “Dewan Tujuh Belas” yang berkedudukan di Amsterdam di Negeri Belanda harus mengurus wilayah yang ada di Kepulauan Nusantara. Sudah barang tentu “Dewan Tujuh Belas” tidak dapat menjalankan tugas sehari-hari secara cepat dan efektif. Sementara itu, persaingan dan permusuhan dengan bangsa-bangsa lain juga semakin keras. Berangkat dari permasalahan ini maka pada 1610 secara kelembagaan diciptakan jabatan baru dalam organisasi VOC, yakni jabatan gubernur jenderal. Gubernur jenderal merupakan jabatan tertinggi yang bertugas mengendalikan kekuasaan di negeri jajahan VOC. Di samping itu juga dibentuk “Dewan Hindia” (Raad van Indie). Tugas “Dewan Hindia” ini adalah memberi nasihat dan mengawasi kepemimpinan gubernur jenderal.
Gubernur jenderal VOC yang pertama adalah Pieter Both (1602-1614). Sebagai gubernur jenderal yang pertama, Pieter Both sudah tentu harus mulai menata organisasi kongsi dagang ini sebaik-baiknya agar harapan mendapatkan monopoli perdagangan di Hindia Timur dapat diwujudkan. Pieter Both pertama kali mendirikan pos perdagangan di Banten pada tahun 1610. Pada tahun itu juga Pieter Both meninggalkan Banten dan berhasil memasuki Jayakarta. Penguasa Jayakarta waktu itu, Pangeran Wijayakrama sangat terbuka dalam hal perdagangan. Pedagang dari mana saja bebas berdagang, di samping dari Nusantara juga dari luar seperti dari Portugis, Inggris, Gujarat/India, Persia, Arab, termasuk juga Belanda. Dengan demikian, Jayakarta dengan pelabuhannya Sunda Kelapa menjadi kota dagang yang sangat ramai. Kemudian pada tahun 1611 Pieter Both berhasil mengadakan perjanjian dengan penguasa Jayakarta, guna pembelian sebidang tanah seluas 50x50 vadem (satu vadem sama dengan 182 cm) yang berlokasi di sebelah timur Muara Ciliwung. Tanah inilah yang menjadi cikal bakal hunian dan daerah kekuasaan VOC di tanah Jawa dan menjadi cikal bakal Kota Batavia. Di lokasi ini kemudian didirikan bangunan batu berlantai dua sebagai tempat tinggal, kantor dan sekaligus gudang. Pieter Both juga berhasil mengadakan perjanjian dan menanamkan pengaruhnya di Maluku dan berhasil mendirikan pos perdagangan di Ambon.
Keserakahan dan Kekejaman VOC
Pada tahun 1614 Pieter Both digantikan oleh Gubernur Jenderal Gerard Reynst (1614-1615). Baru berjalan satu tahun ia digantikan gubernur jenderal yang baru yakni Laurens Reael (1615-1619). Pada masa jabatan Laurens Reael ini berhasil dibangun Gedung Mauritius yang berlokasi di tepi Sungai Ciliwung.
Orang-orang Belanda yang tergabung dalam VOC itu memang cerdik. Pada awalnya mereka bersikap baik dengan rakyat. Hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara juga berjalan lancar. Bahkan, sewaktu orang-orang Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Pieter Both diizinkan oleh Pangeran Wijayakrama untuk membangun tempat tinggal dan loji di Jayakarta. Sikap baik rakyat dan para penguasa setempat ini dimanfaatkan oleh VOC untuk semakin memperkuat kedudukannya di Nusantara. Lama kelamaan orang-orang Belanda mulai menampakkan sikap congkak, dan sombong.
Setelah merasakan nikmatnya tinggal di Nusantara/Indonesia dan menikmati keuntungan yang melimpah dalam berdagang, Belanda semakin bernafsu ingin menguasai Indonesia. Untuk memenuhi nafsu serakahnya itu, VOC sering melakukan tindakan pemaksaan dan kekerasan terhadap kaum pribumi. Hal ini telah menimbulkan kebencian rakyat dan para penguasa lokal. Rakyat dan para penguasa lokal tidak mau diperlakukan semena-mena oleh VOC. Oleh karena itu, tidak jarang menimbulkan perlawanan dari rakyat dan penguasa lokal. Sebagai contoh pada tahun 1618 Sultan Banten yang dibantu tentara Inggris di bawah Laksamana Thomas Dale berhasil mengusir VOC dari Jayakarta. Orang-orang VOC kemudian menyingkir ke Maluku. Setelah VOC hengkang dari Jayakarta, pasukan Banten pada awal tahun 1619 juga mengusir Inggris dari Jayakarta. Dengan demikian, Jayakarta sepenuhnya dapat dikendalikan oleh Kesultanan Banten.
Pada tahun 1619 Gubernur Jenderal VOC Laurens Reael digantikan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen (J.P. Coen). J.P. Coen dikenal gubernur jenderal yang berani dan kejam serta ambisius. Oleh karena itu, merasa bangsanya dipermalukan pasukan Banten dan Inggris di Jayakarta, maka J.P. Coen mempersiapkan pasukan untuk menyerang Jayakarta. Armada angkatan laut dengan 18 kapal perangnya mengepung Jayakarta. Jayakarta akhirnya dapat diduduki VOC. Kota Jayakarta kemudian dibumihanguskan oleh J.P. Coen pada tanggal 30 Mei 1619. Di atas puing-puing kota Jayakarta itulah dibangun kota baru bergaya kota dan bangunan di Belanda. Kota baru itu dinamakan Batavia sebagai pengganti nama Jayakarta.
J.P. Coen adalah gubernur jenderal yang ambisius untuk menguasai berbagai wilayah di Indonesia. Ia juga dapat dikatakan sebagai peletak dasar penjajahan VOC di Indonesia. Disertai dengan sikap congkak dan tindakan yang kejam, J.P. Coen berusaha meningkatkan eksploitasi kekayaan bumi Nusantara untuk keuntungan pribadi dan negerinya. Cara-cara VOC untuk meningkatkan eksploitasi kekayaan alam dilakukan antara lain dengan:
- Merebut pasaran produksi pertanian, biasanya dengan memaksakan monopoli, seperti monopoli rempah-rempah di Maluku;
- Tidak ikut aktif secara langsung dalam kegiatan produksi hasil pertanian. Cara memproduksi hasil pertanian dibiarkan berada di tangan kaum pribumi, tetapi yang penting VOC dapat memperoleh hasil-hasil pertanian itu dengan mudah, sekalipun harus dengan paksaan;
- VOC selalu mengincar dan berusaha keras untuk menduduki tempat-tempat yang memiliki posisi strategis. Cara-cara yang dilakukan, di samping dengan kekerasan dan peperangan, juga melakukan politik adu domba;
- VOC melakukan campur tangan (intervensi) terhadap kerajaankerajaan di Nusantara, terutama menyangkut usaha pengumpulan hasil bumi dan pelaksanaan monopoli, serta melakukan intervensi dalam pergantian penguasa lokal;
- Lembaga-lembaga pemerintahan tradisional/kerajaan masih tetap dipertahankan dengan harapan bisa dipengaruhi/dapat diperalat, kalau tidak mau baru diperangi;
Cara-cara seperti monopoli, intervensi dan politik adu domba itu kemudian menjadi kebiasaan VOC dan pemerintah kolonial Belanda dalam melestarikan penjajahannya di Indonesia. Setelah berhasil membangun Batavia dan meletakkan dasar-dasar penjajahan di Nusantara, pada tahun 1623 J.P. Coen kembali ke negeri Belanda. Ia menyerahkan kekuasaannya kepada Pieter de Carpentier. Tetapi oleh pimpinan VOC di Belanda, J.P. Coen diminta kembali ke Batavia. Akhirnya pada tahun 1627 J.P. Coen tiba di Batavia dan diangkat kembali sebagai Gubernur Jenderal untuk jabatan yang kedua kalinya. J.P. Coen semakin congkak dan kejam dalam menjalankan kekuasaannya di Nusantara. Berbagai bentuk tindakan kekerasan, tipu muslihat dan politik devide et impera terus dilakukan. Rakyat pun semakin menderita. Pada masa jabatan yang kedua J.P. Coen ini pula terjadi serangan tentara Mataram di bawah Sultan Agung ke Batavia.
Batavia senantiasa memiliki posisi yang strategis. Batavia dijadikan markas besar VOC. Semua kebijakan dan tindakan VOC di kawasan Asia dikendalikan dari markas besar VOC di Batavia. Selain itu Batavia juga terletak pada persimpangan atau menjadi penghubung jalur perdagangan internasional. Batavia menjadi pusat perdagangan dan jalur yang menghubungkan perdagangan di Nusantara bagian barat dengan Malaka, India, kemudian juga menghubungkan dengan Nusantara bagian timur. Apalagi Nusantara bagian timur ini menjadi daerah penghasil rempah-rempah yang utama, maka posisi Batavia yang berada di tengah-tengah itu menjadi semakin strategis dalam perdagangan rempah-rempah.
VOC semakin bernafsu dan menunjukkan keserakahannya untuk menguasai wilayah Nusantara yang kaya rempah-rempah ini. Tindakan intervensi politik terhadap kerajaan-kerajaan di Nusantara dan pemaksaan monopoli perdagangan terus dilakukan. Politik devide et impera dan berbagai tipu daya juga dilaksanakan demi mendapatkan kekuasaan dan keuntungan sebesar-besarnya. Sebagai contoh, Mataram Islam yang merupakan kerajaan kuat di Jawa akhirnya juga dapat dikendalikan secara penuh oleh VOC. Hal ini terjadi setelah dengan tipu muslihat VOC, Raja Pakubuwana II yang sedang dalam keadaan sakit keras dipaksa untuk menandatangani naskah penyerahan kekuasaan Kerajaan Mataram Islam kepada VOC pada tahun 1749. Tidak hanya kerajaan-kerajaan di Jawa, kerajaan-kerajaan di luar Jawa berusaha ditaklukkan.
Untuk memperkokoh kedudukannya di Indonesia bagian barat dan memperluas pengaruhnya di Sumatera, VOC berhasil menguasai Malaka. Hal ini terjadi setelah VOC mengalahkan saingannya, yakni Portugis pada tahun 1641. Berikutnya VOC berusaha meluaskan pengaruhnya ke Aceh. Kerajaan Makassar di bawah Sultan Hasanuddin yang tersohor di Indonesia bagian timur juga berhasil dikalahkan setelah terjadi Perjanjian Bongaya tahun 1667. Dari Makasar VOC juga berhasil memaksakan kontrak dan monopoli perdagangan dengan Raja Sulaiman dari Kalimantan Selatan. Pelaksanaan monopoli di kawasan ini dilaksanakan melalui Pelayaran Hongi.
Pelayaran Hongi adalah suatu bentuk pelayaran serta pengawasan yang dilakukan oleh pemerintahan zaman VOC Belanda yang bertujuan menjaga keberlangsungan monopoli rempah-rempah termasuk Hak Ekstirpasi yaitu hak memusnahkan pohon Pala atau Cengkeh, demi mengekalkan monopoli Rempah-Rempah di Kepulauan Maluku dan sekitarnya.
Pengaruh dan kekuasaan VOC semakin meluas. Untuk mempertahankan kebijakan monopoli di setiap daerah yang dipandang strategis, maka armada VOC diperkuat. Benteng-benteng pertahanan dibangun. Sebagai contoh Benteng Doorstede dibangun di Saparua, Benteng Nasau di Banda, di Ambon sudah ada Benteng Nieuw Victoria, Benteng Oranye di Ternate, dan Benteng Rotterdam di Makasar.
VOC juga memperluas pengaruhnya sampai ke Irian/Papua yang dikenal sebagai wilayah yang masih tertutup dengan hutan belantara yang begitu luas. Penduduknya juga masih bersahaja dan primitif. Orang Belanda yang pertama kali sampai ke Irian adalah Willem Janz. Bersama armadanya rombongan Willem Janz menaiki Kapal Duyke dan berhasil memasuki tanah Papua pada tahun 1606. Willem Janz ingin mencari kebun tanaman rempah-rempah. Tahun 1616-1617 Le Maire dan William Schouten mengadakan survei di daerah pantai timur laut Irian dan menemukan Kepulauan Admiralty bahkan sampai ke New Ireland. Pada waktu itu orang-orang Belanda sangat memerlukan bantuan budak, maka banyak diambil dari orang-orang Irian. Pengaruh VOC di Irian semakin kuat. Bahkan pada tahun 1667, Pulau-pulau yang termasuk wilayah Irian yang semula berada di bawah kekuasaan Kerajaan Tidore sudah berpindah tangan menjadi daerah kekuasaan VOC. Dengan demikian, daerah pengaruh dan kekuasaan VOC sudah meluas di seluruh Nusantara. Penguasaan atas Papua/Irian oleh VOC ini terutama terjadi setelah melihat Inggris mulai menanamkan pengaruhnya di beberapa tempat di Indonesia, seperti penguasaan atas Bengkulu.
Memahami uraian di atas, jelas bahwa VOC yang merupakan kongsi dagang itu berangkat dari usaha mencari untung kemudian dapat menanamkan pengaruh serta kekuasaannya di Nusantara. Fenomena ini juga terjadi pada kongsi dagang milik bangsa Eropa yang lain. Artinya, untuk memperkokoh tindakan monopoli dan memperbesar keuntungannya orang-orang Eropa itu harus memperbanyak daerah yang dikuasai (daerah koloninya). Tidak hanya daerah yang dikuasai secara ekonomi, kongsi dagang itu juga ingin mengendalikan secara politik atau memerintah daerah tersebut. Bercokollah kemudian kekuatan kolonialisme dan imperialisme.
Dalam praktiknya, antara kolonialisme dan imperialisme sulit untuk dipisahkan. Kolonialisme merupakan bentuk pengekalan imperialisme (Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012). Muara kedua paham itu adalah penjajahan dari negara yang satu terhadap daerah atau bangsa yang lain. Sistem inilah yang umumnya diterapkan bangsa-bangsa Eropa yang datang di Kepulauan Nusantara, baik Portugis, Spanyol, Inggris maupun Belanda. Sistem ekonomi dan praktik penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Eropa itu tidak dilepaskan dari sistem ekonomi yang berkembang di Eropa yakni sistem ekonomi merkantilisme, sejak abad ke-16. Merkantilisme merupakan sistem ekonomi yang menekan peraturan dan praktik ekonomi pemerintahan suatu negara dengan tujuan memperluas kekuasaan dengan mengorbankan kekuatan nasional negara saingannya. Merkantilisme ini diarahkan untuk menambah cadangan moneter dengan melakukan ekspansi ke negara lain. Paham inilah yang mendorong terjadinya kolonialisme. Oleh karena itu, ciri yang menonjol dalam sistem ekonomi merkantilisme yakni menciptakan koloni di luar negaranya sendiri dan melakukan monopoli perdagangan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke dunia Timur telah melahirkan koloni-koloni di berbagai wilayah.
Semua itu dalam rangka mencapai kejayaan bangsanya atas masyarakat atau bangsa yang lain. Pihak atau bangsa lain dipandang sebagai musuh dan harus disingkirkan. Sifat keangkuhan dan keserakahan ini telah menghiasi perilaku kaum penjajah. Inilah sifat-sifat yang sangat dibenci dan tidak diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Demikian halnya dengan VOC, tidak sekedar menjadi sebuah kongsi dagang yang berusaha untuk mencari untung saja, tetapi juga ingin menanamkan kekuasaannya di Nusantara. VOC dengan hak-hak dan kewenangan yang diberikan pemerintah dan parlemen Belanda telah melakukan penjajahan dan penguatan akar kolonialisme dan imperialisme. VOC telah melakukan praktik penjajahan di Nusantara. Melalui cara-cara pemaksaan monopoli perdagangan, politik memecah belah serta tipu muslihat yang sering disertai tindak peperangan dan kekerasan, semakin memperluas daerah kekuasaan dan memperkokoh “kemaharajaan” VOC. Sekali lagi tindak keserakahan dan kekerasan yang dilakukan oleh VOC itu menunjukkan mereka tidak mau bersyukur atas karunia yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, wajar kalau timbul perlawanan dari berbagai daerah di Nusantara, misalnya dari Aceh, Banten, Demak, Mataram, Banjar, Makassar, dan Maluku.
VOC Gulung Tikar
Pada abad ke-17 hingga awal abad ke-18, VOC mengalami puncak kejayaan. Penguasa dan kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara umumnya berhasil dikuasai. Kerajaan-kerajaan itu sudah menjadi bawahan dan pelayan kepentingan VOC. Jalur perdagangan yang dikendalikan VOC menyebar luas membentang dari Amsterdam, Tanjung Harapan, India sampai Irian/Papua. Keuntungan perdagangan rempah-rempah juga melimpah.
Namun di balik itu ada persoalan-persoalan yang bermunculan. Semakin banyak daerah yang dikuasai ternyata juga membuat masalah pengelolaan semakin kompleks. Semakin luas daerahnya, pengawasan juga semakin sulit. Kota Batavia semakin ramai dan semakin padat. Orang-orang timur asing seperti Cina dan Jepang diizinkan tinggal di Batavia. Sebagai pusat pemerintahan VOC, Batavia juga semakin dibanjiri penduduk, dari luar Batavia sehingga tidak jarang menimbulkan masalah-masalah sosial.
Pada tahun 1749 terjadi perubahan yang mendasar dalam lembaga kepengurusan VOC. Pada tanggal 27 Maret 1749, Parlemen Belanda mengeluarkan UU yang menetapkan bahwa Raja Willem IV sebagai penguasa tertinggi VOC. Dengan demikian, anggota pengurus “Dewan Tujuh Belas” yang semula dipilih oleh parlemen dan provinsi pemegang saham (kecuali Provinsi Holland), kemudian sepenuhnya menjadi tanggung jawab Raja. Raja juga menjadi panglima tertinggi tentara VOC. Dengan demikian, VOC berada di bawah kekuasaan raja. Pengurus VOC mulai akrab dengan pemerintah Belanda. Kepentingan pemegang saham menjadi terabaikan. Pengurus tidak lagi berpikir memajukan usaha perdagangannya, tetapi berpikir untuk memperkaya diri. VOC sebagai kongsi dagang swasta keuntungannya semakin merosot. Bahkan tercatat pada tahun 1673 VOC tidak mampu membayar dividen. Kas VOC juga merosot tajam karena serangkaian perang yang telah dilakukan VOC dan beban hutang pun tidak terelakkan.
Sementara itu para pejabat VOC juga mulai menunjukkan sikap dan perilaku gila hormat yang cenderung feodalis. Pada tanggal 24 Juni 1719 Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon mengeluarkan ordonansi untuk mengatur secara rinci cara penghormatan terhadap gubernur jenderal, kepada Dewan Hindia beserta isteri dan anak-anaknya. Misalnya, semua orang harus turun dari kendaraan bila berpapasan dengan para pejabat tinggi tersebut, warga keturunan Eropa harus menundukkan kepala, dan warga bukan orang Eropa harus menyembah. Kemudian Gubernur Jenderal Jacob Mosel juga mengeluarkan ordonansi baru tahun 1754. Ordonansi ini mengatur kendaraan kebesaran. Misalnya kereta ditarik enam ekor kuda, hiasan berwarna emas dan kusir orang Eropa untuk kereta kebesaran gubernur jenderal, sedang untuk anggota dewan hindia, kuda yang menarik kereta hanya empat ekor dan hiasannya warna perak. Nampaknya para pejabat VOC sudah gila hormat dan ingin berfoya-foya. Sudah barang tentu ini juga membebani anggaran.
Posisi jabatan dan berbagai simbol kehormatan tersebut tidaklah lengkap tanpa hadiah dan upeti. Sistem upeti ini ternyata juga terjadi di kalangan para pejabat, dari pejabat di bawahnya kepada pejabat yang lebih tinggi. Hal ini semua terkait dengan mekanisme pergantian jabatan di tubuh organisasi VOC. Semua bermuatan korupsi. Gubernur Jenderal Van Hoorn konon menumpuk harta sampai 10 juta gulden ketika kembali ke Belanda pada tahun 1709, sementara gaji resminya hanya sekitar 700 gulden sebulan. Gubernur Maluku berhasil mengumpulkan kekayaan 20-30 ribu gulden dalam waktu 4-5 tahun, dengan gaji sebesar 150 gulden per bulan. Untuk menjadi karyawan VOC juga harus “menyogok”. Pengurus VOC di Belanda memasang tarif sebesar f 3.500,- bagi yang ingin menjadi pegawai onderkoopman (pada hal gaji resmi per bulan sebagai onderkoopman hanya f.40,- perbulan), untuk menjadi kapitein harus menyogok f.2000,- dan untuk menjadi kopral harus membayar 120 gulden begitu seterusnya yang semua telah merugikan uang lembaga (baca Parakitri Simbolon, 2007) . Demikianlah para pejabat VOC terjangkit penyakit korupsi karena ingin kehormatan dan kemewahan sesaat. Beban utang VOC menjadi semakin berat, sehingga akhirnya VOC sendiri bangkrut dan gulung tikar. Bahkan ada sebuah ungkapan, VOC kepanjangan dari Vergaan Onder Corruptie (tenggelam karena korupsi) (R.Z. Leirissa. “Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC)” dalam Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012).
Dalam kondisi bangkrut VOC tidak dapat berbuat banyak. Menurut penilaian pemerintah keberadaan VOC sebagai kongsi dagang yang menjalankan roda pemerintahan di negeri jajahan tidak dapat dilanjutkan lagi. VOC telah bangkrut. Oleh karena itu, pada tanggal 31 Desember 1799 VOC dinyatakan bubar. Semua utang piutang dan segala milik VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda. Pada waktu itu sebagai Gubernur Jenderal VOC yang terakhir Van Overstraten masih harus bertanggung jawab tentang keadaan di Hindia Belanda. Ia bertugas mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.